Monday, July 23, 2007

Catatan Eceran 5: Indonesia - Ganteng dan Amnesia di Banyuwangi.

Hafez... Hafez...Hafez... Luar biasa bahasa kamu, sekarang. inilah kelebihan Hafez yang tak dapat di curi, di tiru, dan di cemburui. Ia memliki kepekaan yang membaur dengan intelegensi yang kuat. Sambil membaca tulisan ini, saya bertanya-tanya: kapan Hafez mencatat semua hal yang kecil itu hingga detailnya? -Lintang Sugianto, 7/21/2007 9:15:51 PM.

Photo Hosted at Buzznet

Pesentren Darussalam dari tengah sawah.

Photo Hosted at Buzznet
Anak-anak pesentren menyaksikan sepak bola.

Photo Hosted at Buzznet
Sawah dan jajaran gunung melatari Pesentren Darussalam.



Indonesia 5: Ganteng dan Amnesia di Banyuwangi

Saya bukan WS Rendra apatah lagi Siti Nurhaliza! Sekejap-sekejap ada anak-anak yang mahu mengambil foto. Ada juga yang mahukan autograf sehingga saya terpaksa dikawal rapi oleh panatia eksplorasi puisi! “Anak-anak ini kalau dilayan sampe pagi pun nggak habis dia,” kata Mbak Emha kepada saya. Barangkali terkesan dek ucapan alu-aluan mbak pengasuh, “Kepada tetamu kita dari Malaysie, Mas Hafez Iftiqar yang ganteng, selamat datang ke Pesentren Darussalam.” Anak-anak jadi heboh lalu melontar pandang ke arah saya di sisi dataran. Saya jadi malu-malu. Ganteng? Kacak? Nggak... Lagi pula apa ada pada kecantikan? Sementara. Subjektif. Pokoknya, takwa itu setinggi mana? Malam itu saya mendeklamasikan puisi Dengarkan Mak dari Kumpulan Puisi Lintang Sugianto, Kusampaikan:

Mak, seharusnya aku melupakan saja tentang mainan masa kecilku yang kau buang di parit gelap itu. Agar mudah aku menata mimpiku, agar angin yang menakutkan itu tak selalu singgah di kisi jendela menjelang tidurku. Tapi, itu tak mungkin. Ruangan ini tetap menjadi milikmu sejak kau pasang pajangan dinding bewarna merah yang begitu menusuk mataku.

Mana kuncinya, Mak? Aku ingin keluar mencium embun di daun-daun. Di sini gelap sekali, tak pula kau sediakan damar untuk sekedar melihat wajahku yang tentu telah menua sejak kau lahirkan.

Aku meraba dinding ini , Mak! Dan mana jendelanya? Kutempelkan saja telingaku dan aku tertawa girang ternyata aku bisa mendengar bahwa dunia penuh suara dan nyanyian-nyanyian. Mengapa tak seperti yang engkau ceritakan?

Mak, di sini ada seekor laba-laba yang mengajariku memintal waktu. Hingga aku lebih cerdas memastikan letak matahari yang tak pernah kulihat sinarnya. Kemudian kunang-kunang itu amat bersahaja mengumpulkan cahaya dan begitu sabar memanduku belajar menentukan arah.

Tetapi aku harus hidup, Mak
Aku butuh mataku
Aku butuh jiwa
Aku butuh, Mak...

Lintang Sugianto, Kusampaikan (Halaman 30-31)

Pesentren Darussalam istimewa buat saya hingga saya tak mampu mencari kata-kata untuk menghuraikan betapa istimewanya Pesentren Darussalam. Ini dipersetujui oleh Mbak Lintang. Istimewanya Pesentren Darussalam sampai puisi Amnesia terlahir di situ dan dideklamasikan buat pertama kalinya oleh Mas Bambang di Pon Pes Puteri Darussalam dengan sangat ajaib sehingga memberi nyawa kepada Amnesia. Amnesia ditulis Mbak Lintang sewaktu dia nggak bisa tidur diganggu sakit gigi, terilham oleh teater anak-anak yang menyebabkan sang penulisnya menitiskan air mata, Amnesia di Banyuwangi betul-betul berbekas di hati saya. Tulis Mbak Lintang:

Daun-daun tua
Hutan yang merah
Adalah negeriku

Pagi itu...
Matahari duduk bersila
Ia mendongengkan kekuasaan
Orang-orang besar berdatangan mengoles gincu
Mukanya cantik
Mereka memakai dasi
Mereka berebut naik panggung
Mereka berebut bicara

Daun-daun kemanusiaan
Daun-daun moral
Berjatuhan
Adalah negeriku

Siang itu...
Matahari tertawa sambil membaca mantra
Amnesia...amnesia...amnesia...amnesia...

Orang-orang kecil mengencangkan sarung
Mereka menari mengelilingi panggung
Mukanya pucat
Mereka lupa sejarah
Lupa lapar
Lupa siapa dan siapa
Lupa...

Daun-daun terkulai
Daun-daun terluka
Daun-daun kumal
Adalah negeriku

Malam itu...
Burung hantu mencatat buku harian
Ratusan tangan berkuku panjang
Berlumuran darah
Sedang berpesta di hotel mewah
Seusai mencuci tangan

Daun-daun busuk
Hutan yang kumuh
Matahari berkunjung setiap pagi
Amnesia...amnesia...amnesia...amnesia...
Orang-orang besar berdatangan lagi
Amnesia...amnesia...amnesia...amnesia...
Kemanusiaan lagi
Amnesia...amnesia...amnesia...amnesia...
Moral lagi
Amnesia...amnesia...amnesia...amnesia...
Orang-orang kecil lagi
Amnesia...amnesia...amnesia...amnesia...
Daun-daun lagi
Amnesia...amnesia...amnesia...amnesia...
Kuku-kuku panjang lagi
Amnesia...amnesia...amnesia...amnesia...
Negeriku
Negeriku
Negeriku
Negeriku

Amnesia....

(Lintang Sugianto, Pondok Pesentren Darussalam, Banyuwangi, 28 Juni 2007, 3.03 am)

Kami tiba di Genteng setelah 26 jam di dalam bis dihempas batu jalanan. Di Genteng, kami dijemput oleh Mbak Emha dan dua temannya dengan van Kijang. Pesentren Darussalam itu di pedalaman betul. Jalannya teruk amat. Rupanya jalan itu enggan dibaiki pemerintah kerana pimpinan pesentren sering menghujat pemerintah, begitu saya dimaklumkan. Ah, lumrah! Lo tolong gue, gue tolong lo, kalo lo nggak... Oh, pemandangan? Keren! Indah banget! Blok Agong tempat letaknya Pesentren Darussalam itu dikelilingi sawah yang menghijau saujana mata memandang. Di celahan petak sawah, tanaman seperti semangka, melon dan cabe membesar dengan galak dan gemuk. Kalau di Gilli bahasanya Madura, bahasanya Banyuwangi ialah Osing. Saluran radio yang menjadi pilihan supir ialah Osing. Osing ini sebetulnya masih sekeluarga dengan bahasa Jawa, tetapi saya nggak bisa faham apa pun. Oh, saya cuma tahu satu. Di hadapan hidangan, bila Mbak Emha ngomong, “Monggo, monggo,” ertinya saya boleh mula makan! 12 kilometer perjalanan dari Genteng ke Pesentren Darussalam terasa singkat. Kami bercanda. Saya sering menjadi mangsa. “Hafez, pondok!” Kata Mas Hasan sambil menuding jari ke arah gubuk di tengah sawah. “Gubuk!” Kata saya. Ketawa. “Iya, yang itu gubuk, kalau goblok itu lain lagi!” Kata supir. Ketawa.

Selagi waras, saya tidak akan mampu untuk melupakan Pondok Pesantren Darussalam, Blokagung, Tegalsari, 68485, Banyuwangi, Jawa Timur. Saya terasa kerdil di samping semangat anak-anak Indonesia yang jauh lebih muda daripada saya yang berkumpul di sana dalam suasana penuh kesederhanaan demi menimba ilmu. Tak terbayang oleh saya, sekecil itu telah merentas samudera sejauh beratus batu, sejauh Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Maluku meninggalkan keluarga untuk menimba ilmu di sebuah kabupaten asing, Banyuwangi di Timur Jawa. Terasa ingin berbicara dengan setiap anak-anak itu, berbagi-bagi pengalaman kerana saya pasti setiap tubuh kecil itu menyimpan cerita yang tersendiri. Terlampau banyak yang saya belajar dalam pertemuan sesingkat lima hari. Sungguh, dengan penuh kesedaran saya perlu menyebut begini; kalian yang berusia bilis sebetulnya lebih dewasa daripada saya.

Amnesia bermaksud kehilangan daya ingatan. Pun begitu, ingatan saya sentiasa pulang ke Pesentren Darussalam. Rindu saya tumpah di Banyuwangi.... Kapan bisa saya menghidu segar udara Banyuwangi semula? Rindu. Senyap-senyap, saya berjanji pada diri sendiri yang saya akan pulang semula ke Banyuwangi....



Photo Hosted at Buzznet
Pak Kiyai di Malam Eksplorasi Puisi

Photo Hosted at Buzznet
Pondok anak-anak Pesentren Darussalam.

Photo Hosted at Buzznet
Sebahagian daripada ribuan anak-anak di Malam Eksplorasi Puisi.


Photo Hosted at Buzznet
Photo Hosted at Buzznet

Mendeklamasikan puisi Mbak Lintang Sugianto, Dengarkan Mak dan Sang Aliff. Terima kasih atas tunjuk ajar Mas Bambang Sugianto.

Catatan Eceran 6: Indonesia - Peliknya Mas Hasan Elnoor

Catatan Eceran 7: Indonesia - Lintang dan Bambang Sugianto yang Saya Kagumi


0 Comments:

Post a Comment

<< Home