Monday, July 16, 2007

Catatan Eceran 3: Indonesia - Bumi Mewah Yang Menangis

"Sepanjang perjalanan bersama Hafez, saya ingin bersaksi, ia, pemuda yang pemberani dan cerdas. Berpetualang sendiri di negeri orang tidaklah mudah, dan sederhana. Tetapi perilaku Hafez dalam beradaptasi dengan alam dan lingkungan baru, seolah ia ingin berkata: dimana pun bumi terhampar, baginya sama." - Lintang Sugianto, 10 Juli 2007 6:28:55 PM.

Photo Hosted at Buzznet

Dermaga Gilimanuk dilatari jajaran gunung.

Photo Hosted at Buzznet
Babi guling untuk Galungan.

Photo Hosted at Buzznet
Dermaga Ketapang di Pulau Jawa.

Photo Hosted at Buzznet
Anyaman kelapa yang merumbai-rumbai dari hujung bamboo di suatu lorong di Bali.

Photo Hosted at Buzznet
Lapindo! Tenggelam akibat lumpur panas yang muncrat di Sidoarjo.


Photo Hosted at Buzznet
Photo Hosted at Buzznet
Masjid yang pelbagai di Pulau Jawa.

Photo Hosted at Buzznet
Kuta, Bali.

Photo Hosted at Buzznet
Anak-anak bermain dalam lubang yang dihakis ombak, Bali.

Photo Hosted at Buzznet
Photo Hosted at Buzznet
Saya dan Mas Reza (mahasiswa kedokteran Universitas Udayana, asli Jakarta), Bali.

Setibanya saya di Gilimanuk, seolah-olah saya bukan lagi di Indonesia. Lebih-lebih lagi Bali sedang menyambut Galungan, perayaan adat yang disambut masyarakat Hindu. Sepanjang jalan, tergantung anyaman daun kelapa yang merumbai-rumbai dari hujung bamboo. Kedapatan juga barisan pohon gede yang dipakaikan kain pelikat. Pulau Jawa yang mewah dengan masjid telah saya tinggalkan di belakang. Di Bali, selain deretan rumah makan yang mengiklankan babi guling sebagai menu utama, yang menarik perhatian saya ialah keindahan kabupaten (wilayah) dan puluhan candi yang saya lewati dengan bis atau bas Lorena. “KTP! KTP!” Jerit supir bis sebaik bas dihentikan bertentangan dengan gubuk pengawal di Gilimanuk. Kaget. Saya hulurkan paspot merah, syukur, kemudian saya dilepaskan menyertai penumpang lain yang punya KTP. Mas Bambang dan Mbak Lintang telah bercerita dengan ghairah tentang perjalanan dari Gilimanuk ke Denpasar yang mewah dengan keindahan alam. Sungguh, saya kagum melihat hijau sawah teres di kiri saya dan biru lautan di kanan saya. Indah, sampai saya jadi kagum dengan keindahan yang dikurniakan Tuhan untuk Indonesia. Lautnya, barisan gunung-ganang, tanah yang subur dan budaya yang rencam. Betul, Indonesia adalah negara kaya tetapi menderita miskin.

Waktu koran (akhbar) dan tivi Indonesia heboh membahaskan makar kelompok separatis Republik Maluku Selatan (RMS) yang menyamar sebagai penari cakalele yang berjaya menyusup masuk bendera separatisme (puak pemisah) buat dikibarkan di hadapan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Ambon, saya sudah di Denpasar. Waktu itu berak bocor saya makin menjadi-jadi. Badan saya panas betul. Kalau di Banyuwangi, Mbak Lintang dari masa ke masa mengingatkan saya, “Hafez, udah minum obat?” Badan saya lemah betul, bibir saya merekah kering. Berak sudah seperti kencing. Hanya air yang keluar tanpa bahan pejal. Saya mengingatkan diri supaya sentiasa minum bagi menggantikan air yang banyak hilang penangan berak bocor. Bahagian kiri perut saya sakit betul, memulas-mulas. Selera makan saya merudum. Perut terasa padat dengan angin. Loya. Pening kepala. Waktu saya lembik di Denpasar itulah saya asik banget menonton berita dan membelek koran Jawa Pos, mengakrabi berita-berita terkini. Cakalele oleh puak separatis itu antara berita yang acap kali tersiar di siaran tivi. Waktu itu, si gunung berapi Gamnokora di Maluku masih boleh bersabar. Cakalele itukah yang mengusik damai Gamnokora sampai meletus tanpa mahu memberi amaran awal?

Sungguh, Indonesia adalah bumi mewah yang lama menangis. DPR RI Ade Daud Nasution berpendapat, kalau mahu terjun ke politik harus kaya dahulu karena politik butuh biaya yang sangat mahal. Politikus cenderung melakukan korupsi bagi mendapatkan kembali biaya yang habis lewat perjalanan mendaki tangga politik. Pendapat peribadi saya, kaya dahulu bukan jaminan tidak berlakunya korupsi. Thaksin Shinawatra dan partainya, Thai Rak Thai di Thailand adalah sampel sampai kudeta dilancarkan Jeneral Sonthi Boonyaratglin lalu meletakkan Thailand di bawah junta tentera sampai saat saya menulis baris ini. Korupsi itulah yang makin menyuntik derita atas segenap bumi Merah Putih. “Hafez, kita udah di kawasan semburan lumpur Lapindo,” kata Mas Bambang yang sedia berdiri setentang dengan tempat duduk saya. Waktu itu saya mamai, baru sahaja bangun dari tidur. Daripada tingkap bis, dapat saya lihat perkampungan yang rumah-rumahnya telah separuh ditenggelami lumpur yang muncrat dari perut bumi digerudi syarikat eksplorasi gas PT Lapindo Brantas. Di luar bis sekitaran terang-terang tanah lantaran matahari masih enggan menyapa bumi Merah Putih. Itulah Sidoarjo yang tenggelam akibat semburan lumpur panas yang muncrat sekitar 29 Mei 2006 namun para korbannya sampai saat saya menulis ini masih belum mendapat pembelaan sewajarnya. Nasib mereka, bisakah diperjuangkan wakil rakyat di parlemen? Kapan? Sampai saya berangkat meninggalkan Denpasar, saya nggak punya jawapan…. Tulis Mbak Lintang dalam puisi Do’a Perempuan Tua di Pinggir Sidoarjo;

Terbuat dari apakah perempuan tua ini, Tuan
Hingga tak mampu meredakan badai
Terbuat dari apakah kulit hambaMu ini, Tuanku
Hingga tak sanggup mematikan api
Oh… Tuanku, terbuat dari apa pulakah hati ini
Kalau tak dapat menghentikan amarah
Anak kami, Tuan
Sawah kami, Tuan
Rumah kami, Tuan
Semua tenggelam
Hentikan lumpur panas itu, Tuan
Engkaulah yang bisa
Engkaulah yang bisa
Jangan sisakan nyawaku, Tuan
Bawalah aku melayang
Agar bening….
Agar bening….

Saya bertolak dari Bandung dan tiba di Gambir, pinggir Jakarta pada Ahad, 17 Juni 2007 dengan Argo Gede. Mengenderai taksi bersama Mas Bambang dan Mbak Lintang, kami lewati Monas (Monumen Nasional) yang gede menjadi lambang kebanggaan Jakarta. Kagum saya hingga lupa Batavia atau Jakarta itu baru sahaja menangis akibat banjir besar. Tulis Mbak Lintang dalam puisi Batavia oh Batavia:

Aku mendengar tangismu memecah di pagi buta, Batavia
Kau meminta matahari datang
Tapi, ia sedang bersumpah serapah sambil berdansa merayakan panen tikus-tikus yang bergelimpangan
Dimana muara, teriakmu
Kau lupa, Batavia
Kumpulan airmata bumi yang meranggas telah tumpah
Dan sejak abad ke abad
Manusia telah memakan manusia
Melucuti kesetiaan
Melupakan kejujuran
Dan laut, bukan lagi satu-satunya muara
Sebab ia telah beku
Membeku…
Di bawah payung hitam, Pangeran Achmad Djakarta berduka

Sudahlah Batavia
Berhentilah meratap
Mari menatap awan
Barangkali di sana, Tuhan belum benar-benar meninggalkan kita
Sehingga kita boleh meminta agar dapat menyulapmu menjadi tempo doeloe
Lalu menempatkanmu di tepi antariksa
-Lintang Sugianto, Bekasi, 11 Februari 2007, 2.00 a.m.

Indonesia yang letak di atas Lingkaran Api Pasifik tidak pernah mahu berhenti menangis. Menangis kerana alamnya yang senantiasa mengamuk. Sidoarjo yang berang, Batavia yang teresak, Gamnokora yang marah, Yogyakarta yang bergegar, Aceh yang lemas. Menangis kerana karenah anak-anaknya. Suharto dan lain pemerintah yang korup, Timor Timur yang terlepas, Maluku yang memberontak. Syukur, GAM masih mahu beralah, itu pun setelah Aceh ditabrak tsunami.

Indonesia 4: Matahari Di Atas Gili dan Amnesia di Banyuwangi
Indonesia 5: Peliknya Mas Hasan Elnoor
Indonesia 6: Lintang dan Bambang Sugianto yang Saya Kagumi

0 Comments:

Post a Comment

<< Home