Friday, July 13, 2007

Catatan Eceran 2: Indonesia - Semangat Untuk Hidup

"Sepanjang perjalanan bersama Hafez, saya ingin bersaksi, ia, pemuda yang pemberani dan cerdas. Berpetualang sendiri di negeri orang tidaklah mudah, dan sederhana. Tetapi perilaku Hafez dalam beradaptasi dengan alam dan lingkungan baru, seolah ia ingin berkata: dimana pun bumi terhampar, baginya sama." - Lintang Sugianto, 10 Juli 2007 6:28:55 PM.

Photo Hosted at Buzznet
ITB, universitas mantan Presiden Pertama Indonesia, Hadji Doktor Insinjur Achmad Soekarno.

Photo Hosted at Buzznet
Jalan turut digunakan oleh penjaja bakso sampai kepada bunga-bungaan.

Photo Hosted at Buzznet
Jalan yang macet dipenuhi sepeda motor.

Photo Hosted at Buzznet
Dilarang modol di sini! Bau koplok!

Photo Hosted at Buzznet
Anak-anak berenang di sisi feri minta uang dibaling.

Photo Hosted at Buzznet
Woosshh... Seorang anak hampir berjaya menangkap uang seribu rupiah yang dibaling.

Photo Hosted at Buzznet
Hari penyampaian hadiah SMK Darussalam yang serba sederhana tapi meriah.

Photo Hosted at Buzznet
Sebahagian daripada ribuan anak Pesentren Darussalam yang hadir pada malam eksplorasi puisi.

Photo Hosted at Buzznet
Anak-anak berpakaian merah putih dalam pementasan teater bernafas berani menghujat penguasa-penguasa yang korup.

Photo Hosted at Buzznet
Masjid di tengah Pesentren Darussalam yang belum siap sepenuhnya lantaran masalah kewangan tapi sudah pun digunakan

Photo Hosted at Buzznet
Kumpulan Puisi Lintang Sugianto, Kusampaikan, memuatkan puisi-puisi indah lahir dari kejujuran dan ketajaman fikir Mbak Lintang Sugianto.



Mas Bambang berkisah panjang tentang Indonesia dan korupsi. Kata Mbak Lintang, rasuah sudah membumi di Indonesia.“Hanya sopir taksi yang nggak korup di Indonesia,” kata Mas Bambang bercanda, pecah ketawa kami dalam taksi, turut ketawa sopir taksi atau pemandu teksi. Kalau mahu dibanteras rasuah di Indonesia, perlu dimatikan semua penduduk Indonesia dari ujung ke ujung kemudian dihidupkan generasi baru kata Mbak Lintang. “Di Indonesia, presiden hanya jadi presiden selama beberapa hari, selepas itu dia memeras rakyat,” kata Mas Bambang, “Indonesia dijajah oleh bangsanya sendiri,” tambah Mas Bambang lagi.

Jakarta, jalannya macet atau sesak dengan kenderaan. Sepeda motor di mana-mana. Di antara macet total itu, puluhan peminta sedekah berkeliaran kayaknya kecoak atau lipas. Aktiviti meminta sedekah di Indonesia dijalankan sekreatif mungkin. Setiap kali kenderaan dihentikan lampu merah, puluhan anak-anak mengitari kenderaan sambil memetik gitar menyanyikan segala lagu yang dihafal sebelum beg plastik dihulurkan buat mengisi wang. Ada yang hanya menadah tangan atau menadah topi yang sudah berkulat. Paling membekas, kisah sewa menyewa bayi antara lain di Kuto Bedah, latar puisi ‘Sebaya’ yang dinukil Mbak Lintang. Bayi cacat, kudung atau berkepala besar kayak belon yang hampir meletup sewanya mahal sementara bayi sihat gebu sewanya murah. Logiknya, orang banyak akan lebih bersimpati kepada peminta sedekah yang menggendong bayi cacat daripada bayi sihat. Puisi dengan titel ‘Sebaya’ cukup menyentuh jiwa saya. Puisi ini berkisar hidup Lastri, gadis pengemis berusia sembilan tahun yang sampai sanggup tinggal di jirat cina lantaran kemiskinan yang mendesak.

Sebut saja aku Lastri
Gadis kecil telanjang kaki
Menjajaki keperkasaan sejarah
Akupun lahir sebagai anak kecil garuda
Yang berani menjilat koreng angkasa

Lagi tulis Mbak Lintang dalam puisi ‘Sebaya’, Kumpulan Puisi Karya Lintang Sugianto halaman 65 dan 66...

Sebuah benua landasan surga kaki neraka
Ialah Kuto Bedah mukimku, sebaya
Tertulis di papan ujung jalan
Tanah bekas kuburan cina adalah hak milik Pemerintah

Tak takut roh tyonghwa bangkit kembali
Gubug bangun seperti kecamba rancak berdiri
Di atas mantan kuburan cina yang ompong
Berisi atau kosong
Sudah rela diam menjadi amben, meja makan atau tempat kucing
Belangku meringkel mimpi, disisi oblik menemani aku mengaji...

Sewaktu di dermaga Ketapang, saya menjadi sangat sedih memerhatikan anak-anak Indonesia yang terapung-apung di sisi feri seperti ikan kelaparan yang menunggu nasi dibaling. Bersemangat meminta penumpang-penumpang feri membalingkan wang ke arah mereka. “Mas, seribu rupiah mas... Dibuka! Dibuka!” Jerit anak-anak. Setiap kali wang kertas 1000 rupiah melayah terbang, anak-anak ini akan segera berenang mengejar wang kertas. Wooshh... Sebelum sempat nota 1000 rupiah mencecah muka laut yang kebiruan, seorang anak menyambar wang yang dibaling lalu mengecewakan teman-temannya yang lain. Anak-anak itu menjerit meminta supaya wang dibalingkan lagi sambil mereka mengapung-apungkan diri di sisi feri. “Lagi mas... Lagi mbak... Yukkk.... Dibuka! Dibuka! Seribu rupiah!” Dunia sekarang ini, wang adalah tuhan, kapitalisme adalah undang-undang. Hendak berak pun butuh uang. Lalu kita jadi tidak hairan kalau manusia ‘murtad’ kepada Tuhan Maha Esa untuk menyembah uang. Hendak kencing pun butuh uang. Lalu saya jadi tidak hairan setiap kali terpandang tulisan di belakang gedung-gedung; “Jangan Kencing di Sini!” atau “Jangan Modol di Sini!” Itu di Bandung; modol adalah Bahasa Sunda bererti berak. Loh... Gimana? Kencing atau modol di situ adalah gratis!

Dalam Kumpulan Puisi Kusampaikan, antara lain Mbak Lintang mengkritik para ulama yang menjual agama demi uang. “Ahli agama? Dia juga bingung duit! Dan banyak yang menjual petunjuk lewat agama!” (Bacalah Suratku, Saudara Perempuanku; Lintang Sugianto, Kusampaikan, Halaman 53). Mas Bambang, sewaktu malam eksplorasi puisi di Pesentren Darussalam, Banyuwangi memulakan deklamasi puisi ‘Mengapa Hanya Itu’ dengan memuji sikap para kiyai dan pimpinan pesentren yang berdikit-dikit membangunkan masjid gede di tengah pesentren tanpa perlu menyuruh anak-anak pondok mengemis uang. Tulis Mbak Lintang dengan keras dan jujur berkenaan anak-anak yang dipaksa mengemis buat mencari uang membina masjid sedangkan para ulamanya bersenang-senang di rumah:

Baru saja kulihat keranjang-keranjang sampah
Yang berbunyi “krecek...krecek...krecek”
Yang berarti mohon bantuan untuk berdirinya masjid
Yang menghendaki puluhan mobil berhenti
Yang memaksa jalanan macet, memacetkan pikiran
Yang membingungkan orang lewat yang bersaku halal dan berseribu perak pahala
... engkau ingin menjadi penyambung lidah Nabi
Sebab Nabi tidak sibuk berteriak-teriak saja di mikrofon atau di telinga
Nabi tidak pernah nyaman duduk bergoyang di kursi saja
Karena Nabi mengembara dan berteriak pada taman hati yang kering dan sepi... – (Mengapa Hanya Itu; Lintang Sugianto, Kusampaikan, Halaman 98)

Sewaktu saya menyeberangi laut yang memisahkan Ketapang dan Gilimanuk, saya terbayangkan mata berkaca anak Indonesia yang berenang-renang di sisi feri, anak yang meminta-minta sewaktu macet di Jakarta dan yang utama semangat untuk hidup dengan lebih gagah anak-anak di Pesentren Darussalam. Kata saya kepada ribuan anak-anak di pondok pesentren, “Indonesia bertuah punya anak-anak seperti kalian,” terus tepukan sekejap itu juga menjadi guntur. Sungguh, saya benar berharap kalian adalah garuda yang bisa mengubah nasib Merah Putih.

Indonesia 3: Bumi Mewah yang Menangis
Indonesia 4: Matahari di atas Gili dan Amnesia di Banyuwangi
Indonesia 5: Peliknya Mas Hasan Elnoor
Indonesia 6: Lintang dan Bambang Sugianto yang Saya Kagumi

0 Comments:

Post a Comment

<< Home