Saturday, July 28, 2007

Catatan Eceran 6: Indonesia - Peliknya Mas Hasan Elnoor, Sunan Kudus dan Sapi.

Hafez. Ha ha ha ha ~ Lo tolong gue, gue tolong lo, kalo lo nggak... Oh, pemandangan? Keren! Indah banget! ~ wooooow....Hafez, kamu udah top sekarang. Bahasa Betawi, Osing, dan Indonesia.... Luar biasa. Oh ya, sepulang kamu, saya bertandang ke rumah teman - Eep Saefulloh Fatah - dan dia bilang, bahasa saya justru terdengar seperti logat malaysia lo. Apakah yang terjadi pada kita, Hafez? Barangkali seperti virus, Hafez tertular logat Osing dan Betawi. Saya tertular logat Malaysia. Indah sekali hidup ini.... - Lintang Sugianto, 7/23/2007 1:18:06 PM



Photo Hosted at Buzznet

Mas Hasan dengan Puisi Apa Kabar Kekasih sementara Mbak Lintang berucap menghargai anak-anak pesentren.
[Nota: Kekeliruan apakah haram memetik gitar saya sertakan dalam nota kaki di bawah catatan eceran ini, terima kasih]
Photo Hosted at Buzznet

Mas Hasan yang bergaya di kiri saya yang selekeh.

Photo Hosted at Buzznet
Kereta sapi.

Catatan Eceran 6: Indonesia - Peliknya Mas Hasan Elnoor, Sunan Kudus dan Sapi.
Seorang Mas Hasan Elnoor cukup untuk menggambarkan keunikan golongan yang berkesenian. Waktu itu, Acheh sudah jadi padang jarak ditabrak tsunami. Antara usaha mengurangkan trauma pengungsi yang diusik keras tsunami ialah melalui kesenian. Upacara pembacaan puisi dan nyanyian lagu puisi buat memujuk hati yang bersedih telah dibawakan kepada pengungsi di Acheh yang berduka. Di sana, di bumi yang hampir mati, Mas Bambang dan Mbak Lintang bertemu Mas Hasan Elnoor. Acheh punya rencana tersendiri buat mereka. “Dulu, Si Hasan ini sombong dia! Dia nggak mahu cakap dengan aku.” Kata Mas Bambang, saya dan Mas Hasan ketawa. “Musiknya Si Hasan bagus, tapi puisinya dia jelek!” Kami ketawa usai Mas Bambang menghabiskan ayat itu. Kami masing-masing tahu yang Mas Hasan pemusik yang juga mahir membikin lirik. Saya sentiasa terhibur dengan candaan Mas Bambang dan Mas Hasan. Terhibur banget! Bermula dari pertemuan di Acheh, bermulalah usaha Mas Hasan melagukan puisi-puisi Mbak Lintang, itu pun setelah Mas Hasan berkecil hati setelah dilarang ikut mementas oleh Mas Dibyo. Nggak boleh! Inikan acara khusus puisinya Lintang! Waktu itu Mas Hasan masih belum melagukan puisi-puisi Mbak Lintang.

Mas Hasan sedang duduk-duduk di sofa sewaktu saya tiba di rumah Mas Bambang dan Mbak Lintang di Bekasi. Di dinding, tergantung potret hitam putih Chairil Anwar sedang asyik menyedut rokok. Di bawah Chairil tercetak ‘Sekali berarti sudah itu mati,’ baris dari puisi Diponogoro. Hasan Elnoor dan seni adalah seperti itu, sekali berarti, sudah itu mati. Tuntas, hidupnya adalah seni.

“Penyair Nasional, Mbak Lintang Sugianto dan suami, Mas Bambang Sugianto, dari Jakarta, Mas Hasan Elnoor dari Kudus, Mas Hafez Iftiqar dari Malaysie...” Begitu kira-kira sewaktu moderator memperkenalkan kami yang siap duduk di atas pentas. Sewaktu moderator menyebut “Mas Hasan dari Kudus,” Mas Bambang ketawa kecil. Saya ikut ketawa. “Dulu Si Hasan, nggak mahu makan sapi dia!” Mas Bambang melontar pandang kepada Mas Hasan, semangat dia bercerita tentang Hasan Elnoor, Kudus dan sapi sehari sebelum kami bersama di atas pentas.

Sunan Kudus merupakan seorang daripada sembilan wali songo. Uniknya dakwah Sunan Kudus ialah pendekatannya yang sangat toleran dengan budaya setempat. Kudus waktu itu pekat dengan ajaran Buddha dan Hindu. Bagi mengumpan minat masyarakat Kudus, Sunan Kudus telah memanfaatkan simbol-simbol Hindu dan Buddha yang ternyata berjaya menyediakan masyarakat untuk rela menganut Islam. Antara lain, bentuk masjid dan padasan wudhu yang melambangkan delapan jalan Buddha dan kisah Kebo Gumarang. Sunan Kudus pernah menambat sapinya yang bernama Kebo Gumarang di hadapan masjid buat menarik minat penganut Hindu mendengar tablighnya. Orang-orang Hindu yang mendewakan sapi menjadi kasihan, ditambah pula dengan penjelasan Sunan Kudus berkenaan surah Al-Baqarah, Surah Sapi Betina, lalu berbondong-bondong mereka menjadi Islam. Sampai sekarang masih kedapatan masyarakat tradisional Kudus yang enggan menyembelih dan memakan sapi.

“Dulu aku sangkakan aku gila, rupanya masih ada yang sama macam aku,” kata Mas Hasan waktu kami berbicara tentang perilakunya yang unik. Berlama-lama di kamar mandi adalah identiti ganjil Hasan Elnoor. Dua jam di kamar mandi adalah biasa buat dia. Dan pada hari itu, saya mengetahui bukan hanya Hasan Elnoor, WS Rendra dan Ebiet G Ade juga punya tabiat yang sama. Kamar mandi bererti ilham!

Mas Hasan kemana-mana dengan segalas tas dan jadual waktu solat yang digulung. Sepanjang perjalanan dari Jakarta ke Banyuwangi, kami berbicara tentang pelbagai perkara. Dari Soekarno ke Abdullah Badawi. Dari ISA ke komunisme di Indonesia. Dari WS Rendra ke tunangan yang mungkir. Dia juga menjadi dosen loghat Betawi sewaktu penumpang-penumpang bis lena dipukau capek. “Ape kabar?”, “Name siape?” Pukul rata, loghat Betawi berkehendakkan kamu membunyikan semua perkataan dengan akhir ‘a’ sebagai ‘e’ seperti kamu membunyikan ‘e’ dalam kata emak.

Suatu yang tidak mungkin saya lupakan tentang Hasan Elnoor adalah suaranya yang lunak. Saya tidak pernah jemu mendengar dia mendendangkan Apa Kabar, Kekasih, puisinya Mbak Lintang Sugianto;

Setelah kutempuh perjalanan yang tak kukenal rimbanya
Airmata berbulu api memang benar sedang menjadi hujan
Ada yang ingin kutahu
Bagaimana pohon istighfarku
Sudah lama tak pernah kujaga
Rumbai-rumbai kesombongan
Sempoyongan di muka angin yang berkacak pinggang
Membuatku menunggu daun-daun yang jatuh

Barangkali
Di sana ada takdir yang ingin berucap salam
Apa kabar, kekasih.

Waktu puisi ini terhasil, Mbak Lintang masih baru dalam Islam setelah meninggalkan Kristen. Keikhlasannya menjadi seorang Muslim dibuktikan beliau dengan puasa Senin dan Khamis. Waktu itu dia susah, dia dan Mas Bambang masih dalam rangka observasi budaya. Nekad mengalahkan kesusahan yang dipikul. Uang hanya tinggal 250 rupiah. Itu langsung tidak mengganggu dia untuk terus beramal buat Kekasih. Hanya kepada Kekasih mereka berserah. Iya, Kekasih, Allah yang Esa. Apa Kabar, Kekasih sampai hari ini mengubati rindu saya buat mereka. Buat Mas Bambang, Mbak Lintang dan Mas Hasan Elnoor, saya merindui kalian, kapan kita bisa ketemu lagi?

Catatan Eceran 7: Indonesia - Mbak Lintang dan Mas Bambang Sugianto yang Saya Kagumi.
---------------
Nota Kaki: Kekeliruan Tentang Alat Muzik Bertali. RALAT
Gitar tidak wujud di zaman salaf tapi alat-alat muzik bertali ini dikenali dgn nama ' alMa'azif (المعازق). Ia juga dikenali dgn alat-alat muzik petik. Hadith yg melarangnya ialah hadith alBukhari dari Abu Malik alAsy'ari: ليكونن من أمتي أقوام يستحلون ‏ ‏الحر ‏ ‏والحرير والخمر والمعازف terjemahannya: " Sungguh akan terjadi satu kaum dari umatku yang menghalalkan zina, sutera, arak dan alat muzik petik." (Bukhari: bab alAsyribah, # 5590). Hadith ini mu'allaq (tiada sanad) dan ia menjadi khilaf di kalangan ahli hadith apakah hadith ini boleh dijadikan hujah. Ibn Hazm dan Dr alQardhawi (Fiqh alGhinaa' wal Musiqii) mengatakan hadith ini tidak boleh dijadikan hujah kerana kecacatannya kerana dalam jalur periwayatannya terdapat perawi bernama Hisyam bin Amar, perawi Syria yang bermasalah. Ini diakui sendiri oleh Ibn Hajar dalam Hadyu Sari/448. Maka gitar tidak haram pada zatnya (fizikal gitar itu). Ini bermakna hukum bermain gitar itu tidaklah haram. Ia sama spt motor atau kereta. Keduanya harus dan halal. Tapi jika kereta itu digunakan untuk lumba haram, untuk bermegah-megah, utk ke pub dan nightclub, maka itu dinamakan salah guna. Begitu juga gitar tadi, lagu apa yg dimainkan, apakah imej seorang pemain gitar di mata masyarakat? suasana gitar itu dipetik... Itulah yg perlu dikaitkan. Tapi hukum gitar dan petikan gitar perse.. Tidaklah ada masalah. Ia menjadi masalah bila dikaitkan untuk apa, kenapa, di mana, bagaimana, dalam suasana apa, lagu apa?
(alQardhawi, Fiqh alGhinaa' wal Musiqi, maktabah Wahbah, 2001)
-sumber, Panel Feqh Alahkam.

Monday, July 23, 2007

Catatan Eceran 5: Indonesia - Ganteng dan Amnesia di Banyuwangi.

Hafez... Hafez...Hafez... Luar biasa bahasa kamu, sekarang. inilah kelebihan Hafez yang tak dapat di curi, di tiru, dan di cemburui. Ia memliki kepekaan yang membaur dengan intelegensi yang kuat. Sambil membaca tulisan ini, saya bertanya-tanya: kapan Hafez mencatat semua hal yang kecil itu hingga detailnya? -Lintang Sugianto, 7/21/2007 9:15:51 PM.

Photo Hosted at Buzznet

Pesentren Darussalam dari tengah sawah.

Photo Hosted at Buzznet
Anak-anak pesentren menyaksikan sepak bola.

Photo Hosted at Buzznet
Sawah dan jajaran gunung melatari Pesentren Darussalam.



Indonesia 5: Ganteng dan Amnesia di Banyuwangi

Saya bukan WS Rendra apatah lagi Siti Nurhaliza! Sekejap-sekejap ada anak-anak yang mahu mengambil foto. Ada juga yang mahukan autograf sehingga saya terpaksa dikawal rapi oleh panatia eksplorasi puisi! “Anak-anak ini kalau dilayan sampe pagi pun nggak habis dia,” kata Mbak Emha kepada saya. Barangkali terkesan dek ucapan alu-aluan mbak pengasuh, “Kepada tetamu kita dari Malaysie, Mas Hafez Iftiqar yang ganteng, selamat datang ke Pesentren Darussalam.” Anak-anak jadi heboh lalu melontar pandang ke arah saya di sisi dataran. Saya jadi malu-malu. Ganteng? Kacak? Nggak... Lagi pula apa ada pada kecantikan? Sementara. Subjektif. Pokoknya, takwa itu setinggi mana? Malam itu saya mendeklamasikan puisi Dengarkan Mak dari Kumpulan Puisi Lintang Sugianto, Kusampaikan:

Mak, seharusnya aku melupakan saja tentang mainan masa kecilku yang kau buang di parit gelap itu. Agar mudah aku menata mimpiku, agar angin yang menakutkan itu tak selalu singgah di kisi jendela menjelang tidurku. Tapi, itu tak mungkin. Ruangan ini tetap menjadi milikmu sejak kau pasang pajangan dinding bewarna merah yang begitu menusuk mataku.

Mana kuncinya, Mak? Aku ingin keluar mencium embun di daun-daun. Di sini gelap sekali, tak pula kau sediakan damar untuk sekedar melihat wajahku yang tentu telah menua sejak kau lahirkan.

Aku meraba dinding ini , Mak! Dan mana jendelanya? Kutempelkan saja telingaku dan aku tertawa girang ternyata aku bisa mendengar bahwa dunia penuh suara dan nyanyian-nyanyian. Mengapa tak seperti yang engkau ceritakan?

Mak, di sini ada seekor laba-laba yang mengajariku memintal waktu. Hingga aku lebih cerdas memastikan letak matahari yang tak pernah kulihat sinarnya. Kemudian kunang-kunang itu amat bersahaja mengumpulkan cahaya dan begitu sabar memanduku belajar menentukan arah.

Tetapi aku harus hidup, Mak
Aku butuh mataku
Aku butuh jiwa
Aku butuh, Mak...

Lintang Sugianto, Kusampaikan (Halaman 30-31)

Pesentren Darussalam istimewa buat saya hingga saya tak mampu mencari kata-kata untuk menghuraikan betapa istimewanya Pesentren Darussalam. Ini dipersetujui oleh Mbak Lintang. Istimewanya Pesentren Darussalam sampai puisi Amnesia terlahir di situ dan dideklamasikan buat pertama kalinya oleh Mas Bambang di Pon Pes Puteri Darussalam dengan sangat ajaib sehingga memberi nyawa kepada Amnesia. Amnesia ditulis Mbak Lintang sewaktu dia nggak bisa tidur diganggu sakit gigi, terilham oleh teater anak-anak yang menyebabkan sang penulisnya menitiskan air mata, Amnesia di Banyuwangi betul-betul berbekas di hati saya. Tulis Mbak Lintang:

Daun-daun tua
Hutan yang merah
Adalah negeriku

Pagi itu...
Matahari duduk bersila
Ia mendongengkan kekuasaan
Orang-orang besar berdatangan mengoles gincu
Mukanya cantik
Mereka memakai dasi
Mereka berebut naik panggung
Mereka berebut bicara

Daun-daun kemanusiaan
Daun-daun moral
Berjatuhan
Adalah negeriku

Siang itu...
Matahari tertawa sambil membaca mantra
Amnesia...amnesia...amnesia...amnesia...

Orang-orang kecil mengencangkan sarung
Mereka menari mengelilingi panggung
Mukanya pucat
Mereka lupa sejarah
Lupa lapar
Lupa siapa dan siapa
Lupa...

Daun-daun terkulai
Daun-daun terluka
Daun-daun kumal
Adalah negeriku

Malam itu...
Burung hantu mencatat buku harian
Ratusan tangan berkuku panjang
Berlumuran darah
Sedang berpesta di hotel mewah
Seusai mencuci tangan

Daun-daun busuk
Hutan yang kumuh
Matahari berkunjung setiap pagi
Amnesia...amnesia...amnesia...amnesia...
Orang-orang besar berdatangan lagi
Amnesia...amnesia...amnesia...amnesia...
Kemanusiaan lagi
Amnesia...amnesia...amnesia...amnesia...
Moral lagi
Amnesia...amnesia...amnesia...amnesia...
Orang-orang kecil lagi
Amnesia...amnesia...amnesia...amnesia...
Daun-daun lagi
Amnesia...amnesia...amnesia...amnesia...
Kuku-kuku panjang lagi
Amnesia...amnesia...amnesia...amnesia...
Negeriku
Negeriku
Negeriku
Negeriku

Amnesia....

(Lintang Sugianto, Pondok Pesentren Darussalam, Banyuwangi, 28 Juni 2007, 3.03 am)

Kami tiba di Genteng setelah 26 jam di dalam bis dihempas batu jalanan. Di Genteng, kami dijemput oleh Mbak Emha dan dua temannya dengan van Kijang. Pesentren Darussalam itu di pedalaman betul. Jalannya teruk amat. Rupanya jalan itu enggan dibaiki pemerintah kerana pimpinan pesentren sering menghujat pemerintah, begitu saya dimaklumkan. Ah, lumrah! Lo tolong gue, gue tolong lo, kalo lo nggak... Oh, pemandangan? Keren! Indah banget! Blok Agong tempat letaknya Pesentren Darussalam itu dikelilingi sawah yang menghijau saujana mata memandang. Di celahan petak sawah, tanaman seperti semangka, melon dan cabe membesar dengan galak dan gemuk. Kalau di Gilli bahasanya Madura, bahasanya Banyuwangi ialah Osing. Saluran radio yang menjadi pilihan supir ialah Osing. Osing ini sebetulnya masih sekeluarga dengan bahasa Jawa, tetapi saya nggak bisa faham apa pun. Oh, saya cuma tahu satu. Di hadapan hidangan, bila Mbak Emha ngomong, “Monggo, monggo,” ertinya saya boleh mula makan! 12 kilometer perjalanan dari Genteng ke Pesentren Darussalam terasa singkat. Kami bercanda. Saya sering menjadi mangsa. “Hafez, pondok!” Kata Mas Hasan sambil menuding jari ke arah gubuk di tengah sawah. “Gubuk!” Kata saya. Ketawa. “Iya, yang itu gubuk, kalau goblok itu lain lagi!” Kata supir. Ketawa.

Selagi waras, saya tidak akan mampu untuk melupakan Pondok Pesantren Darussalam, Blokagung, Tegalsari, 68485, Banyuwangi, Jawa Timur. Saya terasa kerdil di samping semangat anak-anak Indonesia yang jauh lebih muda daripada saya yang berkumpul di sana dalam suasana penuh kesederhanaan demi menimba ilmu. Tak terbayang oleh saya, sekecil itu telah merentas samudera sejauh beratus batu, sejauh Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Maluku meninggalkan keluarga untuk menimba ilmu di sebuah kabupaten asing, Banyuwangi di Timur Jawa. Terasa ingin berbicara dengan setiap anak-anak itu, berbagi-bagi pengalaman kerana saya pasti setiap tubuh kecil itu menyimpan cerita yang tersendiri. Terlampau banyak yang saya belajar dalam pertemuan sesingkat lima hari. Sungguh, dengan penuh kesedaran saya perlu menyebut begini; kalian yang berusia bilis sebetulnya lebih dewasa daripada saya.

Amnesia bermaksud kehilangan daya ingatan. Pun begitu, ingatan saya sentiasa pulang ke Pesentren Darussalam. Rindu saya tumpah di Banyuwangi.... Kapan bisa saya menghidu segar udara Banyuwangi semula? Rindu. Senyap-senyap, saya berjanji pada diri sendiri yang saya akan pulang semula ke Banyuwangi....



Photo Hosted at Buzznet
Pak Kiyai di Malam Eksplorasi Puisi

Photo Hosted at Buzznet
Pondok anak-anak Pesentren Darussalam.

Photo Hosted at Buzznet
Sebahagian daripada ribuan anak-anak di Malam Eksplorasi Puisi.


Photo Hosted at Buzznet
Photo Hosted at Buzznet

Mendeklamasikan puisi Mbak Lintang Sugianto, Dengarkan Mak dan Sang Aliff. Terima kasih atas tunjuk ajar Mas Bambang Sugianto.

Catatan Eceran 6: Indonesia - Peliknya Mas Hasan Elnoor

Catatan Eceran 7: Indonesia - Lintang dan Bambang Sugianto yang Saya Kagumi


Friday, July 20, 2007

Catatan Eceran 4: Indonesia - Apokat dan Matahari Di Atas Gilli


Membaca catatan Hafez, tiba-tiba muncul dua orang di dalam benak saya: Gunawan Muhammad dan A Samad Said. Keduanya, berapitan di antara pikiran dan analisis seorang Hafez. Tapi apapun itu, terimakasih atas uraian yang menarik tentang kami dan bumi kami. Lintang Sugianto, 7/17/2007 3:09:41 PM.

Photo Hosted at Buzznet

Bersama Mas Dibyo, Mas Bambang Sugianto dan Mbak Lintang Sugianto

Photo Hosted at Buzznet
Anak-anak kecil yang berkesenian.
Photo Hosted at Buzznet
Kumpulan Puisi Lintang Sugianto, Kusampaikan.

Photo Hosted at Buzznet

Novel Matahari Di Atas Gilli oleh Lintang Sugianto. Keren! akan dilancarkan pada pertengahan Augustus 2007.



“Saya harus membuat beberapa pembetulan,” kata Mas Bambang. Waktu itu kami duduk-duduk di sebuah rumah makan di pinggiran gedung kesenian Taman Ismail Marzuki (TIM), lokasi pertama saya setibanya saya di Jakarta pada Ahad, 17 Juni 2007, selepas dijemput Mas Bambang dan Mbak Lintang dari stasiun keretapi Gambir. “Kamu nggak boleh panggil Lintang, Mas Lintang. Mas itu untuk lelaki. Mbak itu untuk perempuan. Kamu juga nggak boleh panggil saya bapak, saya belum tua, Hafez…” tambah Mas Bambang. Mbak Lintang ketawa. Loh…. Saya nggak tahu, saya hentam aja, pukul rata! Pun begitu, setelah kelas tidak rasmi Bahasa Indonesia selama kurang lebih dua minit oleh Mas Bambang, saya masih tertukar-tukar gelaran mas dan mbak. Sewaktu di Condet, di rumah teman saya, saya ditertawakan kerana masih memanggil Mbak Lintang sebagai Mas Lintang! Bakso saya pesan di rumah makan di pinggiran gedung kesenian itu. “Jus apokat ini apa?” Tanya saya. “Itu… buahnya hijo,” kata Mbak Lintang, seterusnya dia berusaha menghuraikan kepada saya 'apa itu apokat?' dengan penuh kesungguhan. “Ooooo…. Avokado,” kata saya. Mbak Lintang menggaru kepala. Barangkali stress atau bimbang yang saya masih belum tahu apokat itu apa. Dia lalu meluru masuk ke dalam dapur rumah makan dan kemudian keluar dengan buah bewarna hijau. “Hafez, ini apokat!” Kata Mbak Lintang menghulurkan apokat. “Avokado!” Kata saya. Kami ketawa serentak.Turut ketawa pelayan rumah makan. Siang itu, di pinggiran TIM, saya menikmati jus apokat dan bakso. Terus, kami berbicara, bercanda, berbicara lagi dan bercanda lagi.

“Kami ini masih Indonesiakah?” Itu antara soalan yang perlu dijawab Mas Bambang dan Mbak Lintang sewaktu berpetualang di Gilli, pulau kecil yang letak di sebelah timur Kota Probolinggo. “Kalau diberitahu dia itu di negara lain, percaya dia!” Tambah Mas Bambang. Gilli itu perkampungan nelayan. Mas Bambang dan Mbak Lintang sering bercerita tentang Gilli dan ikan-ikan lautnya yang segar. Rumah yang hanya beberapa buah itu penuh dengan jala-jala yang terbentang. Madura bahasa utama Gilli, bahasa yang jauh berbeda daripada bahasa kesatuan. Sebahagian besar daripada observasi budaya mereka yang memakan masa kurang lebih dua tahun mengelilingi Pulau Jawa tumpah di Gilli. Di Gilli, mereka menjadi guru buat anak-anak yang telah sebati dengan laut. Gilli jugalah yang bertangungjawab melahirkan novel Mbak Lintang, Matahari Di Atas Gilli. “Hafez, saya pengen bawa kamu ke Gilli,” setiap kali kami berbicara tentang Gilli, Mas Bambang atau Mbak Lintang nggak lupa ngomong begitu. Iya, saya sendiri teruja untuk ke Gilli setelah mendengar cerita-cerita indah tentang Gilli, meskipun hanya nongkrong untuk satu jam, pokoknya, saya mahu menyaksikan Gilli dengan mata sendiri. “Yuk... Kita ke Gilli!”

Usai di TIM, kami ke gedung kesenian yang lain. Di gedung Djakarta Timur, anak-anak garuda sibuk dengan persiapan pra-pementasan teater. Anak-anaknya masih bilis, umur sekitar tujuh tahun tapi semangatnya raksasa. Sempat juga ketemu Mas Sudibyanto, lebih mesra dengan panggilan Mas Dibyo, adiknya WS Rendra. Selepas itu saya makan lagi, kali ini siomay dengan teh botol. “Kamu harus coba semua makanan Indonesia!” Kata Mbak Lintang. “Saya nggak mahu jadi gemuk,” balas saya. Ketawa.

Senin, 18 Juni 2007. Hari ini kami akan berangkat dari Jakarta ke Banyuwangi dengan bis Lorena. Perjalanan dijangka kurang lebih 24 jam, yang kemudiannya menjadi hampir 26 jam. Seumur hidup saya, nggak pernah saya naik bis selama 26 jam! Capek loh… Paling lama ialah perjalanan dari Melbourne ke Sydney setahun yang sudah selama 11 jam. Jadi, Senin itu menjadi rekod menaiki bas paling lama buat saya. Pinggul saya linu banget! Sebelum ke stasiun bas, kami ke Penerbitan Republika dengan taksi. “Kamu antara orang pertama yang menyaksikan covernya Matahari Di Atas Gilli.” Kata Mas Bambang. Sepanjang perjalanan ke Republika, selain mendengar Mas Bambang, Mas Hasan dan supir taksi bercanda, saya diberi penghormatan membaca endorsement novel Matahari Di Atas Gilli. Yang memberi endorsement itu nama-nama hebat yang langsung tidak asing buat saya; WS Rendra, Dr Ir Wan Abu Bakar, Putu Wijaya, Habiburrahman El Shirazy si penulis Ayat-ayat Cinta, Datuk A Samad Said, Eep Saefulloh Fatah, Ratih Sang, Radar Panca Dahana, Martha Santoso Ismail dan Dr. Victor Pogadaev. Di Republika, sewaktu Mas Bambang menyerahkan naskah endorsement, saya sibuk membelek buku-buku di rak jualan mencari buku berkenaan nikah, suami isteri dan segala yang berkenaan dengan itu untuk memenuhi pesanan sahabat saya. Maaf… Nggak jumpa loh….

“Hafez, ayo….” Saya mengekori Mbak Lintang ke tingkat atas. Di hadapan saya, di dalam skrin komputer, covernya Matahari Di Atas Gilli. “Gimana? Apa pendapatmu Hafez? Jujur iya.” Kata Mbak Lintang kepada saya. “Keren!” Kata saya. Mbak Lintang tertawa. Lama Mbak Lintang memerhatikan cover yang tertera di skrin komputer sebelum mengajak saya turun. “Abang, dia udah tahu sebut keren,” kata mbak kepada Mas Bambang. Senyum. Mas Bambang berkali-kali bertanya kepada saya, apakah Matahari Di Atas Gilli akan punya tempat di Malaysia? Jujur saya katakan, saya yakin Matahari Di Atas Gilli bisa menembus ke pasaran Malaysia. Soalnya, masih mendambakan pengedar yang baik. Yakinnya saya kerana Republika adalah penerbit yang sama menerbitkan Ayat-ayat Cinta Habiburrahman El Shirazy, novel yang terkenal di Malaysia dan lihat nama-nama yang memberi endorsement, keren! Saya tidak sabar lagi untuk memegang naskah Matahari Di Atas Gilli!

Catatan Eceran 5: Indonesia - Ganteng dan Amnesia di Banyuwangi
Catatan Eceran 6: Indonesia - Peliknya Mas Hasan Elnoor
Catatan Eceran 7: Indonesia - Lintang dan Bambang Sugianto yang Saya Kagumi

Wednesday, July 18, 2007

Anak Kecil

Photo Hosted at Buzznet
Gambar anak kecil bermain lopak ini saya ambil di Pesentren Darussalam, Banyuwangi, Indonesia. Saya teringat zaman kanak-kanak saya.

Monday, July 16, 2007

Catatan Eceran 3: Indonesia - Bumi Mewah Yang Menangis

"Sepanjang perjalanan bersama Hafez, saya ingin bersaksi, ia, pemuda yang pemberani dan cerdas. Berpetualang sendiri di negeri orang tidaklah mudah, dan sederhana. Tetapi perilaku Hafez dalam beradaptasi dengan alam dan lingkungan baru, seolah ia ingin berkata: dimana pun bumi terhampar, baginya sama." - Lintang Sugianto, 10 Juli 2007 6:28:55 PM.

Photo Hosted at Buzznet

Dermaga Gilimanuk dilatari jajaran gunung.

Photo Hosted at Buzznet
Babi guling untuk Galungan.

Photo Hosted at Buzznet
Dermaga Ketapang di Pulau Jawa.

Photo Hosted at Buzznet
Anyaman kelapa yang merumbai-rumbai dari hujung bamboo di suatu lorong di Bali.

Photo Hosted at Buzznet
Lapindo! Tenggelam akibat lumpur panas yang muncrat di Sidoarjo.


Photo Hosted at Buzznet
Photo Hosted at Buzznet
Masjid yang pelbagai di Pulau Jawa.

Photo Hosted at Buzznet
Kuta, Bali.

Photo Hosted at Buzznet
Anak-anak bermain dalam lubang yang dihakis ombak, Bali.

Photo Hosted at Buzznet
Photo Hosted at Buzznet
Saya dan Mas Reza (mahasiswa kedokteran Universitas Udayana, asli Jakarta), Bali.

Setibanya saya di Gilimanuk, seolah-olah saya bukan lagi di Indonesia. Lebih-lebih lagi Bali sedang menyambut Galungan, perayaan adat yang disambut masyarakat Hindu. Sepanjang jalan, tergantung anyaman daun kelapa yang merumbai-rumbai dari hujung bamboo. Kedapatan juga barisan pohon gede yang dipakaikan kain pelikat. Pulau Jawa yang mewah dengan masjid telah saya tinggalkan di belakang. Di Bali, selain deretan rumah makan yang mengiklankan babi guling sebagai menu utama, yang menarik perhatian saya ialah keindahan kabupaten (wilayah) dan puluhan candi yang saya lewati dengan bis atau bas Lorena. “KTP! KTP!” Jerit supir bis sebaik bas dihentikan bertentangan dengan gubuk pengawal di Gilimanuk. Kaget. Saya hulurkan paspot merah, syukur, kemudian saya dilepaskan menyertai penumpang lain yang punya KTP. Mas Bambang dan Mbak Lintang telah bercerita dengan ghairah tentang perjalanan dari Gilimanuk ke Denpasar yang mewah dengan keindahan alam. Sungguh, saya kagum melihat hijau sawah teres di kiri saya dan biru lautan di kanan saya. Indah, sampai saya jadi kagum dengan keindahan yang dikurniakan Tuhan untuk Indonesia. Lautnya, barisan gunung-ganang, tanah yang subur dan budaya yang rencam. Betul, Indonesia adalah negara kaya tetapi menderita miskin.

Waktu koran (akhbar) dan tivi Indonesia heboh membahaskan makar kelompok separatis Republik Maluku Selatan (RMS) yang menyamar sebagai penari cakalele yang berjaya menyusup masuk bendera separatisme (puak pemisah) buat dikibarkan di hadapan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Ambon, saya sudah di Denpasar. Waktu itu berak bocor saya makin menjadi-jadi. Badan saya panas betul. Kalau di Banyuwangi, Mbak Lintang dari masa ke masa mengingatkan saya, “Hafez, udah minum obat?” Badan saya lemah betul, bibir saya merekah kering. Berak sudah seperti kencing. Hanya air yang keluar tanpa bahan pejal. Saya mengingatkan diri supaya sentiasa minum bagi menggantikan air yang banyak hilang penangan berak bocor. Bahagian kiri perut saya sakit betul, memulas-mulas. Selera makan saya merudum. Perut terasa padat dengan angin. Loya. Pening kepala. Waktu saya lembik di Denpasar itulah saya asik banget menonton berita dan membelek koran Jawa Pos, mengakrabi berita-berita terkini. Cakalele oleh puak separatis itu antara berita yang acap kali tersiar di siaran tivi. Waktu itu, si gunung berapi Gamnokora di Maluku masih boleh bersabar. Cakalele itukah yang mengusik damai Gamnokora sampai meletus tanpa mahu memberi amaran awal?

Sungguh, Indonesia adalah bumi mewah yang lama menangis. DPR RI Ade Daud Nasution berpendapat, kalau mahu terjun ke politik harus kaya dahulu karena politik butuh biaya yang sangat mahal. Politikus cenderung melakukan korupsi bagi mendapatkan kembali biaya yang habis lewat perjalanan mendaki tangga politik. Pendapat peribadi saya, kaya dahulu bukan jaminan tidak berlakunya korupsi. Thaksin Shinawatra dan partainya, Thai Rak Thai di Thailand adalah sampel sampai kudeta dilancarkan Jeneral Sonthi Boonyaratglin lalu meletakkan Thailand di bawah junta tentera sampai saat saya menulis baris ini. Korupsi itulah yang makin menyuntik derita atas segenap bumi Merah Putih. “Hafez, kita udah di kawasan semburan lumpur Lapindo,” kata Mas Bambang yang sedia berdiri setentang dengan tempat duduk saya. Waktu itu saya mamai, baru sahaja bangun dari tidur. Daripada tingkap bis, dapat saya lihat perkampungan yang rumah-rumahnya telah separuh ditenggelami lumpur yang muncrat dari perut bumi digerudi syarikat eksplorasi gas PT Lapindo Brantas. Di luar bis sekitaran terang-terang tanah lantaran matahari masih enggan menyapa bumi Merah Putih. Itulah Sidoarjo yang tenggelam akibat semburan lumpur panas yang muncrat sekitar 29 Mei 2006 namun para korbannya sampai saat saya menulis ini masih belum mendapat pembelaan sewajarnya. Nasib mereka, bisakah diperjuangkan wakil rakyat di parlemen? Kapan? Sampai saya berangkat meninggalkan Denpasar, saya nggak punya jawapan…. Tulis Mbak Lintang dalam puisi Do’a Perempuan Tua di Pinggir Sidoarjo;

Terbuat dari apakah perempuan tua ini, Tuan
Hingga tak mampu meredakan badai
Terbuat dari apakah kulit hambaMu ini, Tuanku
Hingga tak sanggup mematikan api
Oh… Tuanku, terbuat dari apa pulakah hati ini
Kalau tak dapat menghentikan amarah
Anak kami, Tuan
Sawah kami, Tuan
Rumah kami, Tuan
Semua tenggelam
Hentikan lumpur panas itu, Tuan
Engkaulah yang bisa
Engkaulah yang bisa
Jangan sisakan nyawaku, Tuan
Bawalah aku melayang
Agar bening….
Agar bening….

Saya bertolak dari Bandung dan tiba di Gambir, pinggir Jakarta pada Ahad, 17 Juni 2007 dengan Argo Gede. Mengenderai taksi bersama Mas Bambang dan Mbak Lintang, kami lewati Monas (Monumen Nasional) yang gede menjadi lambang kebanggaan Jakarta. Kagum saya hingga lupa Batavia atau Jakarta itu baru sahaja menangis akibat banjir besar. Tulis Mbak Lintang dalam puisi Batavia oh Batavia:

Aku mendengar tangismu memecah di pagi buta, Batavia
Kau meminta matahari datang
Tapi, ia sedang bersumpah serapah sambil berdansa merayakan panen tikus-tikus yang bergelimpangan
Dimana muara, teriakmu
Kau lupa, Batavia
Kumpulan airmata bumi yang meranggas telah tumpah
Dan sejak abad ke abad
Manusia telah memakan manusia
Melucuti kesetiaan
Melupakan kejujuran
Dan laut, bukan lagi satu-satunya muara
Sebab ia telah beku
Membeku…
Di bawah payung hitam, Pangeran Achmad Djakarta berduka

Sudahlah Batavia
Berhentilah meratap
Mari menatap awan
Barangkali di sana, Tuhan belum benar-benar meninggalkan kita
Sehingga kita boleh meminta agar dapat menyulapmu menjadi tempo doeloe
Lalu menempatkanmu di tepi antariksa
-Lintang Sugianto, Bekasi, 11 Februari 2007, 2.00 a.m.

Indonesia yang letak di atas Lingkaran Api Pasifik tidak pernah mahu berhenti menangis. Menangis kerana alamnya yang senantiasa mengamuk. Sidoarjo yang berang, Batavia yang teresak, Gamnokora yang marah, Yogyakarta yang bergegar, Aceh yang lemas. Menangis kerana karenah anak-anaknya. Suharto dan lain pemerintah yang korup, Timor Timur yang terlepas, Maluku yang memberontak. Syukur, GAM masih mahu beralah, itu pun setelah Aceh ditabrak tsunami.

Indonesia 4: Matahari Di Atas Gili dan Amnesia di Banyuwangi
Indonesia 5: Peliknya Mas Hasan Elnoor
Indonesia 6: Lintang dan Bambang Sugianto yang Saya Kagumi

Friday, July 13, 2007

Catatan Eceran 2: Indonesia - Semangat Untuk Hidup

"Sepanjang perjalanan bersama Hafez, saya ingin bersaksi, ia, pemuda yang pemberani dan cerdas. Berpetualang sendiri di negeri orang tidaklah mudah, dan sederhana. Tetapi perilaku Hafez dalam beradaptasi dengan alam dan lingkungan baru, seolah ia ingin berkata: dimana pun bumi terhampar, baginya sama." - Lintang Sugianto, 10 Juli 2007 6:28:55 PM.

Photo Hosted at Buzznet
ITB, universitas mantan Presiden Pertama Indonesia, Hadji Doktor Insinjur Achmad Soekarno.

Photo Hosted at Buzznet
Jalan turut digunakan oleh penjaja bakso sampai kepada bunga-bungaan.

Photo Hosted at Buzznet
Jalan yang macet dipenuhi sepeda motor.

Photo Hosted at Buzznet
Dilarang modol di sini! Bau koplok!

Photo Hosted at Buzznet
Anak-anak berenang di sisi feri minta uang dibaling.

Photo Hosted at Buzznet
Woosshh... Seorang anak hampir berjaya menangkap uang seribu rupiah yang dibaling.

Photo Hosted at Buzznet
Hari penyampaian hadiah SMK Darussalam yang serba sederhana tapi meriah.

Photo Hosted at Buzznet
Sebahagian daripada ribuan anak Pesentren Darussalam yang hadir pada malam eksplorasi puisi.

Photo Hosted at Buzznet
Anak-anak berpakaian merah putih dalam pementasan teater bernafas berani menghujat penguasa-penguasa yang korup.

Photo Hosted at Buzznet
Masjid di tengah Pesentren Darussalam yang belum siap sepenuhnya lantaran masalah kewangan tapi sudah pun digunakan

Photo Hosted at Buzznet
Kumpulan Puisi Lintang Sugianto, Kusampaikan, memuatkan puisi-puisi indah lahir dari kejujuran dan ketajaman fikir Mbak Lintang Sugianto.



Mas Bambang berkisah panjang tentang Indonesia dan korupsi. Kata Mbak Lintang, rasuah sudah membumi di Indonesia.“Hanya sopir taksi yang nggak korup di Indonesia,” kata Mas Bambang bercanda, pecah ketawa kami dalam taksi, turut ketawa sopir taksi atau pemandu teksi. Kalau mahu dibanteras rasuah di Indonesia, perlu dimatikan semua penduduk Indonesia dari ujung ke ujung kemudian dihidupkan generasi baru kata Mbak Lintang. “Di Indonesia, presiden hanya jadi presiden selama beberapa hari, selepas itu dia memeras rakyat,” kata Mas Bambang, “Indonesia dijajah oleh bangsanya sendiri,” tambah Mas Bambang lagi.

Jakarta, jalannya macet atau sesak dengan kenderaan. Sepeda motor di mana-mana. Di antara macet total itu, puluhan peminta sedekah berkeliaran kayaknya kecoak atau lipas. Aktiviti meminta sedekah di Indonesia dijalankan sekreatif mungkin. Setiap kali kenderaan dihentikan lampu merah, puluhan anak-anak mengitari kenderaan sambil memetik gitar menyanyikan segala lagu yang dihafal sebelum beg plastik dihulurkan buat mengisi wang. Ada yang hanya menadah tangan atau menadah topi yang sudah berkulat. Paling membekas, kisah sewa menyewa bayi antara lain di Kuto Bedah, latar puisi ‘Sebaya’ yang dinukil Mbak Lintang. Bayi cacat, kudung atau berkepala besar kayak belon yang hampir meletup sewanya mahal sementara bayi sihat gebu sewanya murah. Logiknya, orang banyak akan lebih bersimpati kepada peminta sedekah yang menggendong bayi cacat daripada bayi sihat. Puisi dengan titel ‘Sebaya’ cukup menyentuh jiwa saya. Puisi ini berkisar hidup Lastri, gadis pengemis berusia sembilan tahun yang sampai sanggup tinggal di jirat cina lantaran kemiskinan yang mendesak.

Sebut saja aku Lastri
Gadis kecil telanjang kaki
Menjajaki keperkasaan sejarah
Akupun lahir sebagai anak kecil garuda
Yang berani menjilat koreng angkasa

Lagi tulis Mbak Lintang dalam puisi ‘Sebaya’, Kumpulan Puisi Karya Lintang Sugianto halaman 65 dan 66...

Sebuah benua landasan surga kaki neraka
Ialah Kuto Bedah mukimku, sebaya
Tertulis di papan ujung jalan
Tanah bekas kuburan cina adalah hak milik Pemerintah

Tak takut roh tyonghwa bangkit kembali
Gubug bangun seperti kecamba rancak berdiri
Di atas mantan kuburan cina yang ompong
Berisi atau kosong
Sudah rela diam menjadi amben, meja makan atau tempat kucing
Belangku meringkel mimpi, disisi oblik menemani aku mengaji...

Sewaktu di dermaga Ketapang, saya menjadi sangat sedih memerhatikan anak-anak Indonesia yang terapung-apung di sisi feri seperti ikan kelaparan yang menunggu nasi dibaling. Bersemangat meminta penumpang-penumpang feri membalingkan wang ke arah mereka. “Mas, seribu rupiah mas... Dibuka! Dibuka!” Jerit anak-anak. Setiap kali wang kertas 1000 rupiah melayah terbang, anak-anak ini akan segera berenang mengejar wang kertas. Wooshh... Sebelum sempat nota 1000 rupiah mencecah muka laut yang kebiruan, seorang anak menyambar wang yang dibaling lalu mengecewakan teman-temannya yang lain. Anak-anak itu menjerit meminta supaya wang dibalingkan lagi sambil mereka mengapung-apungkan diri di sisi feri. “Lagi mas... Lagi mbak... Yukkk.... Dibuka! Dibuka! Seribu rupiah!” Dunia sekarang ini, wang adalah tuhan, kapitalisme adalah undang-undang. Hendak berak pun butuh uang. Lalu kita jadi tidak hairan kalau manusia ‘murtad’ kepada Tuhan Maha Esa untuk menyembah uang. Hendak kencing pun butuh uang. Lalu saya jadi tidak hairan setiap kali terpandang tulisan di belakang gedung-gedung; “Jangan Kencing di Sini!” atau “Jangan Modol di Sini!” Itu di Bandung; modol adalah Bahasa Sunda bererti berak. Loh... Gimana? Kencing atau modol di situ adalah gratis!

Dalam Kumpulan Puisi Kusampaikan, antara lain Mbak Lintang mengkritik para ulama yang menjual agama demi uang. “Ahli agama? Dia juga bingung duit! Dan banyak yang menjual petunjuk lewat agama!” (Bacalah Suratku, Saudara Perempuanku; Lintang Sugianto, Kusampaikan, Halaman 53). Mas Bambang, sewaktu malam eksplorasi puisi di Pesentren Darussalam, Banyuwangi memulakan deklamasi puisi ‘Mengapa Hanya Itu’ dengan memuji sikap para kiyai dan pimpinan pesentren yang berdikit-dikit membangunkan masjid gede di tengah pesentren tanpa perlu menyuruh anak-anak pondok mengemis uang. Tulis Mbak Lintang dengan keras dan jujur berkenaan anak-anak yang dipaksa mengemis buat mencari uang membina masjid sedangkan para ulamanya bersenang-senang di rumah:

Baru saja kulihat keranjang-keranjang sampah
Yang berbunyi “krecek...krecek...krecek”
Yang berarti mohon bantuan untuk berdirinya masjid
Yang menghendaki puluhan mobil berhenti
Yang memaksa jalanan macet, memacetkan pikiran
Yang membingungkan orang lewat yang bersaku halal dan berseribu perak pahala
... engkau ingin menjadi penyambung lidah Nabi
Sebab Nabi tidak sibuk berteriak-teriak saja di mikrofon atau di telinga
Nabi tidak pernah nyaman duduk bergoyang di kursi saja
Karena Nabi mengembara dan berteriak pada taman hati yang kering dan sepi... – (Mengapa Hanya Itu; Lintang Sugianto, Kusampaikan, Halaman 98)

Sewaktu saya menyeberangi laut yang memisahkan Ketapang dan Gilimanuk, saya terbayangkan mata berkaca anak Indonesia yang berenang-renang di sisi feri, anak yang meminta-minta sewaktu macet di Jakarta dan yang utama semangat untuk hidup dengan lebih gagah anak-anak di Pesentren Darussalam. Kata saya kepada ribuan anak-anak di pondok pesentren, “Indonesia bertuah punya anak-anak seperti kalian,” terus tepukan sekejap itu juga menjadi guntur. Sungguh, saya benar berharap kalian adalah garuda yang bisa mengubah nasib Merah Putih.

Indonesia 3: Bumi Mewah yang Menangis
Indonesia 4: Matahari di atas Gili dan Amnesia di Banyuwangi
Indonesia 5: Peliknya Mas Hasan Elnoor
Indonesia 6: Lintang dan Bambang Sugianto yang Saya Kagumi

Saturday, July 07, 2007

Catatan Eceran 1: Indonesia - Bahasa dan "Kenal Siti Nurhaliza?"

Photo Hosted at Buzznet
Merah Putih
Photo Hosted at Buzznet
Mbak Lintang, Mas Bambang, saya dan Mas Hasan pada malam eksplorasi puisi di Pesentren Darussalam.
Photo Hosted at Buzznet
Bercakap tentang proses kreatif dan esastera.com.
Photo Hosted at Buzznet
Pesentren Darussalam yang di kelilingi hijau sawah.
Photo Hosted at Buzznet
Bersama panatia diskusi sastera.
Photo Hosted at Buzznet
Tangkuban Perahu, Bandung yang mewah dengan sulfur.


Saya enggan bercakap banyak sewaktu dikelilingi orang yang tidak saya kenali kerana bimbang mereka menyedari yang saya tidak punya KTP, Kartu Tanda Penduduk (dibunyikan Katape, ‘e’ seperti membunyikan ‘e’ dalam kata ekor). Lebih rimas kalau mereka mengetahui yang saya asal Malaysia. Kebanyakan mereka punya matematik yang mudah, Malaysia = Kaya. Mbak Lintang berkali-kali mengingatkan saya tentang perkara ini agar jangan sampai menjadi mangsa tipu. Apabila saya mula bertutur, terus soalan wajib yang akan ditanya; “Mas, dari Malaysie? Kenal Siti Nurhaliza?” Itu soalan yang sering saya terima sewaktu menaiki Angkot, kenderaan semacam van yang bewarna-warni dihias dengan pelbagai sticker termasuk karikatur berbikini. Angkot yang merayap di kota-kota utama Indonesia itu puluhan jumlahnya bahkan ratusan. Malaysie, suku kata akhir itu dibunyikan semacam membunyikan ‘e’ dalam ejaan emak. Seumur hidup saya, tidak pernah saya menyebut Malaysia sebagai Malaysie. Rupanya, kebanyakan rakyat Indonesia sudah punya idea salah bahawa masyarakat Malaysia wajib membunyikan ‘e’ bagi setiap suku kata yang disudahi dengan ‘a’. Dan kebanyakan idea yang salah itu dikutip daripada interview bersama Siti Nurhaliza!Sewaktu di Denpasar, seorang jururawat di hospital yang saya kunjungi menyoal saya, “Kenal Datuk Khalid?” Saya berfikir panjang. Aiseh... Khalid yang mana? Lalu saya teringat, oh! Apa-apa yang berkaitan dengan Siti Nurhaliza. Khalid yang bermisai tebal. “Datuk K?” Soal saya. Jururawat ketawa besar lalu mengaku dia pernah berjiran dengan Siti Nurhaliza. Apa-apa ajalah mbak.... Di Indonesia, Siti Nurhaliza rupanya lebih dikenali daripada Pak Lah atau Abdullah Baginda.

Saya gemar memesan jus bila berkunjung ke restoran. Nah, saya terkejut sewaktu meneliti senarai minuman pada menu yang disediakan. Jus jeruk rupanya jus oren, jus melon rupanya jus tembikai susu, jus apokat rupanya jus avocado, jus tomat rupanya jus tomato, jus semangka rupanya jus tembikai. Senarai makanan? Jangan tanya saya, kebanyakannya langsung tidak saya ketahui apa maksud di sebalik nama yang pelik malah lucu pada tanggapan saya. Oh, saya tahu beberapa, cumi itu sotong, lele pula ikan keli dan saya selalu ketawa sendirian membaca nama-nama ikan yang unik seperti ikan gurami serta yang seangkatan dengannya. Ikan Mas pun banyak kedapatan dalam senarai menu dan saya pasti bukan merujuk kepada ikan hiasan berperut kembung yang berenang malas-malas di Malaysia.

Mbak Lintang sering ketawa mendengar bahasa Melayu saya. Kata saya, “saya sudah cirit birit hampir dua hari”. Dia ketawa. “Cirit birit itu apa?” Lalu saya teringat, “berak bocor! Saya udah berak bocor dua hari mbak.... Berak udah macam kencing,” kata saya. Ketawa lagi, sebelum dia memberi saranan kepada saya. Saya juga pernah bertanya, “tandasnya di mana?” “Tandas itu apa?”saya ditanya. “Oh, toilet,” kata saya. “Kamu ke mana tadi Hafez?” Soal mbak. “Pondok di tengah sawah.” “Pondok itu apa?” “Itu, yang kayu di tengah sawah,” kata saya. “Oh, gubuk,” kata Mbak Lintang. “Apa namanya ini?” Tanya Mbak Lintang mengunjukkan isi merah padat yang dipotong tiga segi. “Tembikai,” kata saya. Mbak Lintang, Mas Bambang, Mas Hasan dan Mbak Emha ketawa geli hati. “Aduh.... Lucu.” Kata Mbak Lintang, ketawanya masih belum surut. “Hafez... Ini semangka.” Katanya.

Saya kagum dengan Mbak Lintang, bahasa Inggerisnya sangat baik sepanjang yang saya nilai menerusi beberapa sms dan mesej beliau kepada saya. Di rumah Mbak Lintang dan Mas Bambang juga kedapatan banyak tulisan-tulisan berbahasa Inggeris. Sewaktu di Bandung, seorang Indonesia yang saya temui di hotel bersungguh-sungguh mahu berbahasa Inggeris dengan saya. Aiseh... bahasa Inggerisnya teruk betul! Di Kuta, seorang peniaga mengetuk mati seekor tikus yang melintas di hadapan gerainya lalu mengejutkan beberapa orang buley (mat salleh dalam gelaran Indonesia) yang berhampiran. Serentak mereka berpaling kepada peniaga yang memegang batang penyapu. Di hadapannya, seekor tikus yang telah arwah. “Moose,” katanya seraya tersenyum kepada kawanan pelancong. Saya terbayangkan rusa dengan tanduk bercabang seribu yang sering kedapatan di kawasan pergunungan. Aiseh.... mouse sudah jadi moose. Saya tersenyum sepanjang jalan menuju ke pantai. “Want? Massage-massage your body. Feel good, cheap-cheap. Go home, body good.” Sapa seorang tukang urut yang berkeliaran di tepi pantai. “No, thanks. Just leave me alone. I do need some peace here” Kata saya. “Cheap-cheap. No expensive. Feel good. Go home, feel good. Massage your body. You strong, go home, feel good.” Hampir setengah jam saya rimas sendirian dihurung makcik tukang urut yang tak faham-faham bahasa, “I do need some peace, makcik....”.

Indonesia! Bahasanya unik. Malah bahasa dialeknya mencecah ratusan. “Untung ada gerakan Budi Utomo!” Kata Mas Bambang kepada saya. “Kalau nggak, saya pun nggak bisa faham semuanya!” Tambah Mas Bambang merujuk usaha Budi Utomo yang telah menjadikan Bahasa Indonesia sebagai bahasa perpaduan di negara beribu-ribu pulau itu.

Catatan Eceran 2: Indonesia - Semangat Untuk Hidup
Catatan Eceran 3: Indonesia - Bumi Mewah yang Menangis
Catatan Eceran 4: Indonesia - Matahari di atas Gili dan Amnesia di Banyuwangi
Catatan Eceran 5: Indonesia - Peliknya Mas Hasan Elnoor
Catatan Eceran 6: Indonesia - Lintang dan Bambang Sugianto yang Saya Kagumi